Belanda Sudah Dekat !!
Eropa.. Belanda. Kejayaannya berdiri diatas
penjajahannya kepada bangsa Hindia. Membaginya dalam kelas-kelas, dan
menciptakan segala tolak ukur yang pantas dan yang tidak pantas. Eropa..
Belanda, juga menjadikan kita Indonesia, memperkenalkan kita apa itu pendidikan
modern gaya mereka. Walau setengah hati, bersyarat dan penuh tipu muslihat.
Ya.. sejak dahulu orang-orang kita Indonesia
berlomba-lomba menimba ilmu kesana. Ke suatu tempat bernama Leiden, Amsterdam ataupun
Utrecht. Tapi Kakekku, Ayahku, dan kini Aku, dengan berbagai cara menuju kesana
hanya untuk mencari sesuatu yang hilang. Sesuatu yang harus kami kembali bawa
pulang.
“Nieuw nieuws ! Berita Baru! Orang jajahan dari
Hindia Timur pagi ini telah tiba di Pelabuhan Roterdam. We zie is!? Ayo baca
koran lengkapnya!” teriak bocah penjual koran yang berlari diselasar kios-kios
Bloemenmarkt.
Surat kabar lokal Amsterdam di tahun 1829, mewartakan setelah Raden Saleh datang ke Belanda, berangsur-angsur semakin banyak pula orang Hindia (Indonesia) yang datang untuk belajar, ataupun keperluan lainnya. Seperti Raden Ngabehi Poespa Wilaga yang datang di tahun 1835 untuk mengawasi pembuatan aksara Jawa pada perusahaan percetakan Enschede en Zoonen di Harlem. Kedatangan lainnya yang cukup fenomenal adalah kedatangan Kadjo sang juru jam Susushan Surakarta di awal tahun 1856. “Duplex” adalah masterpiece Kadjo yang dipamerkan kepada Van Wielik sang pembuat arloji baginda Ratu. “Duplex” adalah sebuah jam bertatahkan 10 batu intan dengan aksara jawa yang dibuat Khusus untuk Susuhunan.
Surat kabar lokal Amsterdam di tahun 1829, mewartakan setelah Raden Saleh datang ke Belanda, berangsur-angsur semakin banyak pula orang Hindia (Indonesia) yang datang untuk belajar, ataupun keperluan lainnya. Seperti Raden Ngabehi Poespa Wilaga yang datang di tahun 1835 untuk mengawasi pembuatan aksara Jawa pada perusahaan percetakan Enschede en Zoonen di Harlem. Kedatangan lainnya yang cukup fenomenal adalah kedatangan Kadjo sang juru jam Susushan Surakarta di awal tahun 1856. “Duplex” adalah masterpiece Kadjo yang dipamerkan kepada Van Wielik sang pembuat arloji baginda Ratu. “Duplex” adalah sebuah jam bertatahkan 10 batu intan dengan aksara jawa yang dibuat Khusus untuk Susuhunan.
Rupa-rupanya masih ada yang lebih terkenal dari
pada Kadjo, lebih populer, yang juga datang ke Belanda di tahun yang sama, 1856.
Dia lah sang pelopor pendidikan, pendiri sekolah guru pertama di Sumatera dan
kedua di seluruh Hindia setelah Surakarta. Dia lah guru bagi bangsanya, sumber
inspirasi putra-putri Tapanuli. Namanya hampir tak pernah disebut, bahkan sekakan-akan
dianggap tak pernah ada. Segala jasa-jasanya dimasa lalu hilang bagai hantu, dibabat
dan dikubur dalam-dalam oleh sebangsanya sendiri. Cukup mengherankan, sama
herannya seperti misi pencarian ke negeri Belanda yang telah berlangsung dalam keluargaku
selama tiga generasi.
“Kenapa harus bersusah payah ke Belanda Ayah?” mungkin
pertanyaan serupa pernah dilontarkan Ayahku kepada Kakekku. Tiga generesi dalam tanda tanya besar “Ada apa dengan Belanda? Ada apa di Belanda?”.
Pertanyaan yang kerap terulang dan berkecamuk didlam kepala. “kamu masih ingat
syair petuah pada surat pertama yang ayah bacakan dulu padamu nak?” tanya ayah
dengan raut wajahnya yang menentramkan, seklagus menggetarkan. “masih ayah”
jawabku singkat. “coba sebutkan dua bait dari syair tersebut. Ayah akan
menjelaskan kembali makna dibalik dua bait syair yang singkat itu padamu nak”
aku pun kembali mencoba mengingat, mencoba merapal, lalu membacakan nya perlahan.
“Tinggal ma ho jolo ale
Anta piga taon nada uboto
Mula u ida ho mulak buse
Ulang be nian sai ma oto
Lao ita marsarak
Mar sipaingot dope au di o
Ulang lupa paingot danak
Manjalai bisuk napeto[1]”
*****
Begitulah sepenggal sajak bertulis tangan dalam
surat pertama yang tersimpan dalam peti kecil bersama dua pucuk surat lain yang
telah lama menjadi bagian pusaka keluarga. Yang tak kalah membuat penasaran
adalah dimana lembar surat ketiga hanya boleh dibaca oleh anggota keluarga yang
akan berangkat ke Belanda. Sejujurnya banyak kisah dan peristiwa yang hingga
hari ini masih sulit kumengerti dalam keluargaku. Seperti hal pada satu kisah yang
pernah dituturkan ayahku tentang perbincangan singkat antara Kakekku dengan Presiden
Soekarno pada peristiwa rapat raksasa di Padangsidmpuan. Kejadiannya tepat di
tanggal 12 Juni 1948, dua tahun setelah Indonesia merdeka, dan beberapa hari
setelah ayahku Sutan Alisakti merayakan ulang tahunnya yang ke 10.
“Siapa Paman yang berteriak-teriak di atas mimbar itu Ayah?”
tanya Sutan Alisakti pada Sutan Patuanraja. “Paman itu orang pandai dari
Batavia”. Mendengar kata Batavia, Sutan Alisakti yang kerap mendengar cerita ayahnya
tentang kemegahan kota yang dijuluki permata ratu Belanda di timur jauh itu semakain
tambah penasaran. “Apakah paman itu patriot pemberani Ayah?” mendengar
pertanyaan Sutan Alisakti, Sutan Patuanraja tersenyum “Tentu dia patriot pemberani.
Dia usir itu bangsa Wulando dari
semua Kampung di segala Banua Raja (disegala penjuru Nusantara)".
Sutan Alisakti merasa gembira sekali mendengar penjelasan ayahnya. Perbincangan seru itu pun seketika tiba-tiba terhenti. Presiden Soekarno dalam iringan beberapa tokoh adat kemudian melangkah menuju arah Sutan Patuanraja. Sutan Alisakti terkejut sekaligus riang melihat paman patriot pemberani berdiri tepat di depannya, tengah berbisik dengan ayahnya. Dalam perbincangan yang lebih tepatnya berbisik itu, satu kalimat yang tertangakap oleh Sutan Alisakti, satu nama yang hampir-hampir jadi mitos dan legenda, Sutan Iskandar, kakek Ayah, dan kakek buyutku, kebanggan orang-orang Mandailing dan guru bagi bangsa-bangsa yang berdiam di Tanah Sumatera.
Sutan Alisakti merasa gembira sekali mendengar penjelasan ayahnya. Perbincangan seru itu pun seketika tiba-tiba terhenti. Presiden Soekarno dalam iringan beberapa tokoh adat kemudian melangkah menuju arah Sutan Patuanraja. Sutan Alisakti terkejut sekaligus riang melihat paman patriot pemberani berdiri tepat di depannya, tengah berbisik dengan ayahnya. Dalam perbincangan yang lebih tepatnya berbisik itu, satu kalimat yang tertangakap oleh Sutan Alisakti, satu nama yang hampir-hampir jadi mitos dan legenda, Sutan Iskandar, kakek Ayah, dan kakek buyutku, kebanggan orang-orang Mandailing dan guru bagi bangsa-bangsa yang berdiam di Tanah Sumatera.
Sering kali aku bertanya mengusik kembali
peristiwa pagi di 12 Juni 1948 itu. Namun hanya diam yang kuperoleh dari Ayahku.
Sekan itu harusnya tetap menjadi misteri, sama halnya seperti perihal kematian
Sutan Iskandar kakek buyutku disatu malam musim semi pada taman kota Amsterdam
yang sunyi. “Ayah.. benarkah kalau kakek buyut Ompung Sukerndar bunuh diri dengan menembak kepalanya dengan pistol?” dalam rasa takut
yang diselumit sejuta rasa penasaran, pertenyaan itu terlontar.
Mungkin itulah pertanyaan ternekat yang pernah aku tanyakan. Dan jelas sekali perubahan rona wajah ayah yang berubah jadi amarah. Marah dalam diamnya. Terkadang kekecewaan dan sakit dihati sulit dimengerti hingga berubah emosi, atau meredamnya dalam sunyi hati. “Hmmm..” hela napas panjang ayah menandakan itu sudah tidak perlu lagi dibicarakan. Kami diam, berharap itu tidak pernah terjadi, dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Mungkin itulah pertanyaan ternekat yang pernah aku tanyakan. Dan jelas sekali perubahan rona wajah ayah yang berubah jadi amarah. Marah dalam diamnya. Terkadang kekecewaan dan sakit dihati sulit dimengerti hingga berubah emosi, atau meredamnya dalam sunyi hati. “Hmmm..” hela napas panjang ayah menandakan itu sudah tidak perlu lagi dibicarakan. Kami diam, berharap itu tidak pernah terjadi, dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Ayahku,
Sutan Alisakti adalah seorang dosen sejarah yang mengabdikan seluruh hidupnya
untuk mengkaji sejarah Tapanuli dan Sumatera. Pencariannya akan kebenaran
peristiwa tragis dimalam musim semi 8 Mei 1876 seakan tak pernah usai. Dari
karya-karya ilmiahnya, aku menyimpulkan bahwa ayahku menolak skenario sejarah
yang menyebutkan bahwa Willem Iskandar ditemukan tewas bunuh diri di taman
Vondel, Amsterdam. Surat kematian dari polisi setempat yang dikirimkan melalui
Mentri Jajahan kepada keluarga di Mandailing menyatakan bahwa kematian
diakibatkan bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Laporan kepolisian ini
diperkuat oleh sepucuk surat[2]
yang tak lama yang tak lama sebelumnya Willem Iskandar tuliskan
kepada Tuan Heeker, sang guru sekaligus pembimbing selama berdiam di Belanda.
Hal ini tentu tidak pernah dibenarkan oleh
pihak keluarga, dan bahkan bagi kebayakan orang Mandailing. Pernah pada suatu
sore ketika Aku dan Ayahku sedang bersantai ditaman belakang sembari menikmati
kopi Mandailing yang baru kami panen, tiba-tiba dengan serius membahas topik
perihal kakek buyutku. “Kakek ayah itu adalah orang Mandailing pertama dan terpandai
yang bisa bersekolah hingga ke Belanda dengan biaya pemerintah Belanda. Pada
umurnya yang masih muda ia berangkat pertama kalinya di tahun 1856. Sebelum ia
dilepas menuju pelabuhan Natal, selembar surat pertama dengan sajak itu lah
yang ia tinggalkan sebagai petuah dan nasehat. Dan surat kedua itu Ia tulis
semasa menempuh pendidikan guru di Harlem. Dan surat ketiga yang hanya dibaca
bagi anggota keluarga yang akan ke Belanda adalah surat yang Ia tulis tepat sebelum
kematiannya. Saat itu Ia kembali ke Belanda setelah setahun mendirikan sekolah
Guru di Tanobato. Ia kembali ke Belanda konon katanya untuk menempuh pendidikan
direktur sekolah. Hemm.. tapi Ayah tidak percaya akan pernyataan itu. Perlu
kamu ketahui, sejarah itu terkadang barang mainan penguasa. Ditulis lalu
dipaksakan dan dijejali pada tiap-tiap kepala manusia hingga kemudian pun jadi
sebuah kebenaran. Melihat sejarah itu harus jernih, harus jujur tidak berpihak.
Dan tanpa upaya perombakan dan bukti nyata, maka tetap akan seperti itulah hingga
hari kiamat”.
Dari perbincangan panjang itu dapat kusimpulkan
bahwa pada bulan Desember 1861, Willem Iskandar tiba di Batavia dengan membawa
ijazah guru bertaraf Eropa. Dengan Ijazah itu ia akan mendirikan sebuah
sekolah. Bukan seolah dasar atau sekolah lanjutan, melainkan sekolah guru.
Karena dalam pandangannya dengan semakin banyak nya guru maka kebodohan di
tanah Tapanuli segera dapat diberantas. Lantas berkembang dan semakin banyaklah
guru-guru yang kemudian menyebar keseluruh pulau Sumatera. Melihat perkembangan
dan kemajuan tersebut, pihak Belanda mulai khawatir dan mengatur siasat untuk
segera menghentikan perkembangan pendidikan yang diluar kendali pemerintah.
Akhirnya, Willem Iskandar dikirim kembali ke Belanda dengan dalih melanjutkan pendidikan.
“mari kita sholat ke mesjid nak” lamunanku seketika buyar, kesadaranku seketika
kembali setelah penjelajahan panjang ke masa lampau, masa dimana segala hal
yang baik bisa dijadikan buruk, masa dimana kecerdasan dianggap membahayakan
dan harus disingkirkan. Masa dimana Belanda begitu dekat, bahkan lebih dekat
dari pada urat nadi.
Yah, Belanda sudah dekat. Tinggal menunggu hari
sebelum keberangkatan untuk menhadiri undangan Kementrian pendidikan dan
Kebudayaan dalam rangka pagelaran budaya Nusantara yang akan digelar di Tropen
Museum. Dengan demikian tugas yang dahulu pernah diemban oleh Ayahku, juga kakekku dan kini
jatuh ketanganku. Mungkin dari satu generasi ke satu genersi dalam keluargaku
sudah ditakdirkan untuk menjelajahi negeri Belanda disetiap sudutnya demi mencari
sesuatu yang hilang dan yang harus kami bawa pulang. Sayangnya, dua generasi
sebelumnya belum membuahkan hasil, dan kini Aku digenerasi ketiga menjadi
tumpuan dan harapan untuk menyudahi pencarian panjang ini.
Pagi itu, mendengar berita keberangkatanku ke
Belanda, Ayahku langsung bertolak dari Mandailing untuk menemuiku. Wajahnya
yang tua terlihat berseri bercampur aduk dengan semangat yang meluap-luap hingga
membentuk satu ekspresi yang justru membuatku semakin tertekan. “Ayah. Minggu
depan rombongan kami akan berangkat”. Ucapku sekenanya untuk sekedar memecah
suasana tegang campur aduk yang tengah melanda. “Ya.. akhirnya giliran mu pun
tiba anakku. Lanjutkan kegagalan ayahmu pada 25 tahun yang lalu. Gagal
menuntaskan apa yang seharusnya dituntaskan, dan benar-benar gagal membawa apa
yang saharusnya dikembalikan”.
Wajah tua nya pun mulai diselimuti raut penyesalan. “Sudahlah Ayah. Mungkin kala itu belum waktunya. Dan mungkin juga, bukan waktu yang tepat untuk mencerahkan sejarah yang masih buram samar-samar”
Dalam hati benar-benar dirundung rasa khawatir bila mana akan menemui jalan yang sama. Buntu, pulang tanpa membawa apa-apa. “Sudahlah.. tak usah kau terlalu takut akan kegagalan yang serupa dengan ayahmu. Kalau tidak digenarsi ketiga, masih ada generasi keempat, kelima, keenam dan seterus-seterusnya. Walaupun orang-orang Mandailing mulai jauh dari semangat pendidikan, namun masih ada beberapa keluarga yang mempertahankan semangat pendidikan itu, seperti keluarga kita. Agar kamu lebih paham tentang apa ini semua, Ayah membawakan surat ketiga yang belum pernah kau baca atau Ayah bacakan. Bukalah nak.. lalu baca dengan mata hatimu, dan kau pun akan mengerti tentang apa ini semua”. Wajah tuanya terlihat begitu damai, bijak, namun tegas menguatkan, menguatkan langkahku dalam sebuah pencarian.
Wajah tua nya pun mulai diselimuti raut penyesalan. “Sudahlah Ayah. Mungkin kala itu belum waktunya. Dan mungkin juga, bukan waktu yang tepat untuk mencerahkan sejarah yang masih buram samar-samar”
Dalam hati benar-benar dirundung rasa khawatir bila mana akan menemui jalan yang sama. Buntu, pulang tanpa membawa apa-apa. “Sudahlah.. tak usah kau terlalu takut akan kegagalan yang serupa dengan ayahmu. Kalau tidak digenarsi ketiga, masih ada generasi keempat, kelima, keenam dan seterus-seterusnya. Walaupun orang-orang Mandailing mulai jauh dari semangat pendidikan, namun masih ada beberapa keluarga yang mempertahankan semangat pendidikan itu, seperti keluarga kita. Agar kamu lebih paham tentang apa ini semua, Ayah membawakan surat ketiga yang belum pernah kau baca atau Ayah bacakan. Bukalah nak.. lalu baca dengan mata hatimu, dan kau pun akan mengerti tentang apa ini semua”. Wajah tuanya terlihat begitu damai, bijak, namun tegas menguatkan, menguatkan langkahku dalam sebuah pencarian.
Surat itu masih kembali kubuka sesaat sebelum
pesawat mendarat di Bandara Internasional Schiphol. Surat yang ditulis dengan
tinta hitam tulisan tangan itu sepenuhnya berisi kumpulan beberapa karya sastra
berbahasa Mandailing berbentuk sajak, dan cerita petuah dan nasehat kepada
anak-anak dan orang tua akan arti penting pendidikan.
“Ise na ringgas tu sikola
Tibu marbisuk ma ibana
Mamboto etongan ma i ia
Pulik malo padalan ata
Ise na so marsikola
I ma na tinggal maoto
Hum banuana ma di roa
Na adong diginjang ni tano[3]”
Willem Iskandar setelah kematiannya dimakamkan
oleh pihak berwenang negeri Belnda di suatu sudut kota Amsterdam.. disuatu
sudut entah dimana. Menemukan makamnya adalah upaya-upaya terhebat yang pernah
dilakukan beberapa putra-putra Mandailing. Penelusuran, pembacaan arsip,
interview dengan beberapa orang yang mungkin tau sudah diupayakan dengan sekuat
tenaga walau tanpa bantuan pemerintah Indonesia. Bukan tidak pernah meminta
bantuan pemerintah, namun untuk arah kesana mungkin jauhlah dari angan-angan.
Dan bukan juga hal ini harus dibiarkan dan dilupakan lenyap ditelan waktu
begitu saja, itu berbahaya. Berbayaha bagi kita generasi muda, putra putri
Mandailing. Seperti kata Sokearno, JASMERAH ‘jangan sekali-kali melupakan
sejarah’. Pencarian makam Willem Iskandar tidak lain tidak bukan adalah untuk
menguatkan kembali semangat pendidikan, semngat dan gelora ilmu pengetahun yang
dulu pernah tumbuh dan bersinar di Mandailing. Apalah artinya sejarah tanpa
bukti, tanpa artefak.. tentu sejarah itu akan menjelma menjadi dongeng, menjadi
mitos, dan bahkan akan dianggap generasi berbeda zaman sebagai sebatas omong
konsong bual-bualan orang tua. Memori kolektif kita tentang Willem Iskandar
mungkin telah hilang, namun dengan ditemukannya makam Willem Iskandar memori
itu akan kembali muncul, kita akan kembali mengingat bahwa ada seoarng pemuda
Mandailing yang pada masa pendidikan masih dianggap barang haram berani menukar
dengan segala yang ia punya untuk meraihnya, bahkan nyawanya.
Belanda sudah dekat. Bila kita tidak bangkit
dari keterpurukan pendidikan, mungkin kita akan dijajah lagi. Dijajah dalam
bentuk yang berbeda, oleh bangsa atau apapun itu, dan tentunya dalam balutan
yang lebih cerdas dan kreatif hinga-hingga tak sadar sedang dijajah. “Bangun.
Belanda sudah dekat kawan”. Ucap teman yang duduk disampingku. “Ya.. Belanda
sudah dekat kawan. Lihatlah pilar-pilar peradaban mereka yang megah. Lihatlah
moncong-moncong meriam mereka yang gagah.. dan lihatlah lusinan karya ilmiah
dari berbagai bangsa yang pernah Ia jajah. Bahkan disana, di perpustakaan
Leiden dan museum nya ada lebih 1000 karya sastra dari tanahmu Tapian Nauli..
Tapanulimu. Bangunlah.. atau kau akan kembali dijajah!!”
_Tamat
[1] Artinya: Duhai kampungku tercinta tinggallah engaku dahulu. Entah untuk berapa tahun Aku pun tak tahu. Jika kau pulang nanti. Kuharap engkau telah terbebas dari kebodohan. Pada perpisahan ini. Kuberikan engkau nasehat. Anak-anak harus dinasehati. Agar terus mencari ilmu yang hakiki. Sajak ini merupakan karya Willem Iskandar, yang ditulis sebagai bahan nasehat kepada orang tua dan anak-anak Mandailing bahwa pendidikan dan menuntut ilmu itu sangat penting.
[2] Adapun
isi surat tersebut adalah “Hidup ini teramat bagi saya, kesedihan yang
akhir-akhir ini saya tanggung membuat saya tak mungkin hidup lebih lama lagi”.
Isi surat dan keterangan mengenai kematian Willem Iskandar dapat dilihat lebih
jauuh dalam beberapa catatan sejarah, antara lain dalam Harry A. Poeze. Di
Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 “Terjemahan”.
Penerbit Gramedia. Jakarta, 2008. Dan dalam Z. Pangaduan Lubis. Lebih Jauh
Tentang Willem Iskandar. Pustaka Widia Sarana. Medan, 2011.
[3] Artinya: siapa yang rajin bersekolah dia akan jadi pandai bijaksana. Ilmu berhitung ia kuasai juga pandai bertutur kata. siapa yang tidak sekolah dia akan tinggal terbelakang. Karena hanya kampung tempat ia tinggal yang ia pandang. Padahal dunia begitu luas dan banyak ilmu yang terbentang. Dalam kumpulan karya Si bulus bulus si umbuk rumbuk karya Willem Iskandar yang dituliskan kembali pada buku Z. Pangaduan Lubis. Lebih Jauh Tentang Willem Iskandar. Pustaka Widiasarana. Medan, 2011.
Komentar
Posting Komentar