Pada Dia yang Menunggu.


Mendung itu pun semakin hitam. Ia terlihat memanggil serintikan hujan. Tak lama menunggu, gemuruh itu pun tiba bersama sepasukan punggawa awan hitam. Kuterdiam, sembari berlindung ketakutan di bawah rimbunnya kalpataru. Kaos putihku kini setengah bersatu dengan tubuhku. Tetesan-tetesan dari sela dedaunan, membuat sang naga merah terawang remang muncul kepermukaan. Kini kaos putih polos itu sedikit terlihat bermotifkan naga merah bersirip biru.

Lalulalang orang disepanjang jalan. Sang hujan bagai jalang yang terbuang. Tak dihiraukan, bahkan seperti teracuhkan. Basah..kini aku setengah basah. Kuingin beranjak lalui hujan seperti mereka, tapi takutku membuat kaki tak mampu melangkah. Bahkan kumenunggu, mencoba keringkan tubuh dengan harapan sang hujan kelak kan berlalu.

Dalam riangnya tarian serintikan hujan, tiba-tiba aku dikagetkan seekor tikus yang terselip pada gigi tajam kucing abu-abu. Sepintas jauh, kupikir itu anaknya. Mungkin sang kucing mencoba melindungi si buah hati dari sepasukan punggawa awan hitam. Selayang pandang berselang, ternyata hukum rimba tengah berlaku. Bantai yang lemah, cuaca dingin memicu gairah makan semakin bernafsu. Mungkin sang kucing tengah merasakan hal yang sama seperti aku. Rasa lapar menjangkit diantara hujan yang tak kian menerik. Aku tak begitu peduli, karna ada resah yang semakin meninggi.

Sesekali, sepasang mata yang melintas terasa menukik tajam kearahku. Pandangan itu setengah haru, heran dan terpukau. Mungkin haru melihat diriku yang tengah berselimut cuaca dingin dengan berbantalkan rintikan hujan. Barangkali sedikit heran, mengapa aku tak segera berlalu. Dan sepertinya terpukau melihat lukisan samar dibalik kaos putihku. Sungguh aku tak peduli. Karna ada orang yang jauh lebih kuresahkan dari pada sepasang mata yang melintas itu.

Hampir Dua jam berlalu, namun sang hujan tak kunjung jemu. Kini sore beranjak kemalamnya hari, disaat lampu jalan menyala redup menemani.

“Ada janji yang harus kutepati!”

Kuberteriak lirih, memohon sang langit hentikan tangisnya.

“Tersenyumlah walau sedikit.”

Tetap ia tak peduli, malah ia memintaku untuk turut menemani. Resah pun semakin gelisah. Was-was menunggu di bilangan kilometer jauh disana.

“Apa aku harus berlalu?”

“Resiko tanggung sendiri.”

“Tapi janjiku tengah menanti!”

“Naga merah bersirip biru akan terungkap.”

“Tapi…”

“Tak ada kata tapi..itu alasan yang tak berarti.”

Dua jam berlalu, dan para punggawa awan hitam mulai terlihat jemu. Mendung yang berlalu kini tak begitu berarti, karna terangnya mentari telah sirna ditelan malam.

“Dinda. Masih kah kau ada?!”

Kuniatkan tuk segera berlalu, menuai janji yang mungkin telah jemu. Disana..disebuah café dekat sekolahku dulu. Pada tempat yang serupa, dan disaat yang sama dia terduduk menunggu. Masih kuingat jelas, saat waktu itu kulalui. Walau Dua tahun telah berlalu, namun hari itu bagai seminggu yang lalu. Hembusan angin ini, terasa bagai bisikan lirih dari bibir indahnya kala itu.

“Ini hari valentine…” ucapnya sembari tersenyum riang.

“Apa? Hari valentine!” tanyaku kebingungan.

Betapa bodohnya aku saat itu. Tak tau menahu soal apa yang diucapkannya. Apa itu hari valentine, sungguh jadi pertanyaan besar dalam benakku. Seingatku, bertanggal hari ini tak ada yang terlihat berwarna merah di kelender kamarku. Hari macam apa itu? Samakah ia dengan hari Ibu atau hari nasional lainnya? Kebisuan yang terlalu lama kupendam, memaksa Dinda tuk menuturkan segalanya. Setelah panjang ia bercerita, baru lah aku tau apa itu hari valentine.

“Oh..valentine itu hari cinta.”

“Trus..coklat buat Dinda mana?”

“Coklat apa? Emang Dinda tadi ada nitip cokalat?”

“Gak seh..tapi kalau hari valentine itu, biasanya tukar-tukaran coklat.”

“Kata siapa?”

“Bukan kata siapa-siapa seh. Tapi biasanya emang begitu, Aldy sayang.”

“Oh..mm, sory yah Dinda, soalnya aku gak tau. Kalau dikasinya besok, masih bisa gak?”

Dalam tasku, terbalut pada sebuah kotak indah, coklat mawar merah itu terdiam. Aku tak lupa. Malah aku sungguh sangat mengingatnya. Jauh hari aku telah mencari. Dari satu pintu toko ke pintu lainnya, lalu akhirnya kutemukan coklat spesial ini.

Dua tahun berlalu setelah kepergiannya kuliah ke luar negeri. Dua tahun berlalu, namun janji itu masih tetap ia tepati. Canada sepertinya tempat yang teramat jauh hanya untuk sekedar bertemu muka tepati janji di setiap tanggal 14 Februari. Namun kalau cinta sudah bicara, jarak bagai tiada.

Temaram lampu hias yang cantik, menambah keceriaan suasana yang ada. Dari kejauhan meja 14 terlihat telah berpenghuni. Sepintas ia bagai sosok lain. Bukan gadis berambut sebahu yang dulu kukenal.

“Oh..ternyata itu Dinda.”

Banyak yang berubah. Seperti hal nya tato ditubuhku. Dengan langkah ragu kuperlahan mendekat..aku harus bilang apa saat ia menanyakannya. Tato?

“Itu tak berarti apa-apa. Aku bisa merasakan kalau kamu tetap Aldy yang dulu. Aldy cinta pertamaku.”

Huuh..nafas berhembus pelan bersama hilangnya keresahan. Tato ditubuhku, ternyata hanya kecemasan. Dinda bisa menerima alasan yang kuberikan. Ia memakluminya, dan hal itu tidak mengubah cintanya.

“Kuliahnya gimana Al? lancar-lancar aja kan?”

“Yah, begitulah kira-kira. Dinda sendiri gimana?”

Oh..hatiku sedikit berkecamuk. Apa kebohongan ini harus tetap berlanjut? Aku begitu mencintainya. Bahkan demi cinta, kuhalalkan segala cara. Apa yang akan kubanggakan bila aku berkata jujur? Dengan apa aku melamarnya nanti? Demi ini semua..hitam kujadikan putih.

“Mm..sepertinya sama. Semua berjalan sesuai rencana. Namun, terkadang kerinduan membuatku ingin menyerah.”

“Kerinduan? Dinda emang kangen sama siapa ampe separah itu?”

“Duh, Al..kamu ini, tetap gak ada kemajuan juga yah. Loadingnya ternyata masih tetap lambat.”

Tawa pun tercipta diantara suara rintikan yang menggema. Riuh rendah obrolan terasa begitu hangat didinginnya udara malam ini. Wajahnya terlihat begitu ceria. Namun, ada hal yang sebentar lagi akan membuatnya menangis haru penuh bahagia.

“Al..ini aku bawakan coklat untukmu.”

“Hah..coklat hati berwarna pink? Thanks bangat Dinda.”

“Coklat buat Dinda mana, Al? kamu lupa lagi yah?

“Al, gak lupa kok Dinda.. Nih, coklat special buat, Dinda. Coklat mawar berwarna merah.”.

Lampu merah menghentikan laju motorku. Keramaian terlihat merayap dimana-mana. Hiruk pikuk tiupan terompet tahun baru, tambahkan kegelisahan dihatiku. Bercampur pula soal mimpi semalam yang masih terngiang jelas dalam ingatan, maka jadilah resah dan gelisah.

Kuketok pintu, namun tak bersahut. Kumasuk lewati pintu menuju ruangan yang katanya ada party. Kali ini aku ada janji dengan seorang pelanggan yang tawarkan duit puluhan juta.

Satu jam telah berlalu. Lampu mobil yang terang, sinari tubuhku yang terkapar kaku. Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga..begitulah kata pria berseragam coklat dengan sepucuk senjata api ditangan kanannya.

“Lapor komanadan! Naga merah siap dikandangkan!”

Air mataku menetes basahi aspal panas yang memaki cadas. Deras mengalir bagai serangan sepasukan punggawa awan hitam. Dan ternyata malam ini, rintiknya jauh lebih sendu. Sebentar lagi pagi akan tiba, dan itu berarti tanggal 14 Februari. Kini aku ada di balik terali besi penuh karat, meringkuk dalam ruangan Tiga kali Empat. Pagi masih begitu buta. Mentari terlihat enggan tebarkan sinarnya. Sepi, sunyi dengan udara pagi yang begitu dingin.

Tiba-tiba melintas seorang penjaga penjara dengan langkah penuh goyah. Dari jauh kuperhatikan ia. Tanpa pikir panjang, kuberteriak memanggil namanya. Tak lama, ia pun datang menghampiri. Sipir penjara satu ini sepertinya baru pulang dari tempat hiburan malam yang jaraknya tidak begitu jauh dari rutan tempatku dipenjarakan. Itu jelas terlihat dari bau mulutnya yang dipenuhi aroma alcohol menyengat.

“Habis party, Pak? Wah..baru dapat cewek nih kayaknya.”

“Banyak nanya lo! Kepala gue pusing berat nih, buruan bilang lo ada perlu apa.”

“Plaak!! Buup..”

Tubuhnya langsung tergeletak pingsan setelah kepalanya kubenturkan pada terali besi yang tumpul. Mengendap sembari merayap, kumelintasi lorong-lorong gelap yang sunyi. Bagai bayangan kumenembus tebalnya dinding-dinding penjara. Napas menderu, bak serigala was-was penuh ketakutan akan peluru yang panas. Tembok itu begitu tiggi, dan pada ujungnya terlihat barisan pagar kawat tajam yang tengah tertawa. Aku terhenti, pada rintangan terakhir pelarianku. Mataku silau menatap mentari yang kini telah pijarkan sinarnya. Saat mata was-was beringas, tiba-tiba kumenatap sebuah selokan kotor penuh lumpur.

Mataku hampir terpejam. Persembunyian ini terasa begitu lama. Dalam lobang ini, hanya gelap yang ada. Lalu kumerangkak perlahan, mencoba memastikan apakah langit telah hitam. Ternyata diluar sana senja telah tiba bersama sepasukan punggawa awan hitam. Rintikan hujan itu semakin deras. Dalam senja yang telah gelap, kuberlari sederas hujan yang memburu. Dari sisi sebuah bangunan, kudaki tembok panjang itu. Tajam kawat berduri yang menusuk ditangan, semakin mengingatkanku pada dia yang menunggu.

“Dor..dor..dor!”

Aku terjatuh dalam kegagalanku. Hujan yang kian deras, basahi peluru panas yang bersarang didadaku. Hujan malam ini, seperti hujan malam itu. Masih kuingat jelas saat waktu itu kulalui. Walau Satu tahun telah berlalu, namun hari itu bagai seminggu yang lalu. Hembusan angin ini, terasa bagai bisikan lirih dari bibir indahnya.

“Coklat buat Dinda mana, Al?”

Senyuman itu tetap tak mau lepas. Sungguh aku bisa merasakan hangatnya dia mendekap tubuhku yang memucat biru. Kucuran darah kian mengalir deras bak sungai menuju muara. Kini darah itu lapisi tato naga merah bersirip biru di tubuhku. Tato itu seakan terhapus. Hilang lenyap oleh merahnya darah. Semuanya merah..tubuhku bergelimang darah.

Sakit itu semakin menusuk. Ia seakan menertawakanku pada janji yang kan kuingkari, dan pada maaf yang tak kan sempat terucap. Aku tau, ini tak kan lama. Sebab punggawa awan hitam kini pancarakan seberkas sinar terang. Sinar itu seakan berbisik..perlahan, dalam hembusan penghabisan.


By: Didi Roten.

Komentar

Postingan Populer