Yang tak pernah kembali.




Senja itu pun tiba dengan segenggam lelah pada tubuhku yang basah. Sunset yang memerah terlihat kurang begitu indah akbiat insiden yang menimpaku barusan. Yah..mungkin hari ini saatnya aku berpisah dengannya. Kurasa..sudah cukup lama ia menemaniku. Baiknya kulepas ia dengaan keikhlasan di hati. Mungkin dengan begitu kisah ini akan berakhir dengan sempurna.
“Bli..ada board bekas ga?”
Tatapan kosongku pada lautan lepas yang memerah tiba-tiba buyar oleh suara seseorang yang sepertinya kukenal.
“Eh, Bli Made..ada tuh. Kapan mau liat?”
“Terserah Bli nya aja kapan punya waktu.”
“Mm..gimana kalau hari Rabu, pas aku surfing kesini lagi?”
“Oke. Mm..Board bekasnya, Bli mau jual berapa?”
“Masalah harga, gampang lah. Yang penting, Bli liat kondisi Boardnya dulu.”
“Wah..makasih banyak yah Bli.”
Anak pantai..aku sungguh kagum pada mereka. Usiaku sama dengannya. Namun aku, tak perlu susah-susah mencari nafkah seperti dirinya. Cukup dengan bermain surfing saja, tiap bulan jutaan rupiah mengalir deras dari sponsor. Cukup dengan bermain surfing saja, aku bisa keliling dunia. Yah..tak percuma selama Lima tahun aku berkecimpung dalam olahraga yang satu ini. Seperti kata mereka..tak ada usaha yang sia-sia.
”Gilang, papan selancarmu kemana? Kamu jual?”
“Ga’ Mam. Tadi pas jatuh kegulung ombak, tali roof nya putus. Boardnya kebawa arus..jadinya hilang dech.”
“Emangnya tadi kamu surfing dimana?”
“Di padang-padang Mam.”
“Main surfing kok jauh-jauh bangat seh..kenapa ngak surfing dekat rumah aja. Kalau lapar tinggal pulang. Lagian kan Mama juga pengen liat kamu main surfing.”
“Ah..Mama ini ada-ada aja dech. Pantai Double Six rame bangat Mam. Apalagi musim liburan sekolah kayak gini..huh, turis local dimana-mana. Tuh pantai dah kayak pasar aja..sumpek abis. Males bangat dech pokoknya.”
“Hei..kalau bukan karna mereka, Bali ini gak ada apa-apanya. Toko Mama juga gak bakalan ada pengunjung. Mama yakin kamu belum lupa, gimana susahnya kita saat-saat pertama datang kesini. Hidup itu jangan banyak nuntutnya..banyakin bersyukurnya.”
Jelas aku belum lupa masa-masa pahit lima tahun yang lalu. Saat itu masa-masa terakhirku dibangku SMA. Pada hari Senin sepulang sekolah, tiba-tiba kudapati Ibunda sedang memeluk adik perempuanku satu-satunya dengan tangisan yang begitu sendu. Aku hanya terdiam dalam gejolak batin yang berkecamuk. Yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Itulah akhir dari percekcokan panjang kedua orang tuaku. Semuanya telah kandas diatas lembaran surat perceraian. Tak ada kata yang terucap..hanya rangkulan hangat yang kuberikan kepada adik tercinta sebelum perpisahan itu memisahkannya dari pandanganku. Ia ikut Papa pindah ke Jakarta bersama istri barunya. Sedangkan aku, pindah ke rumah nenek yang di bali bersama Mama.
Lima tahun sudah kisah itu beralalu. Panjangnya waktu menggunungkan rindu pada mereka yang kucintai. Lima tahun sudah kumeninggalkan kota kelahiranku. Kota Medan yang penuh kenangan. Kota dimana sahabat-sahabatku kutinggalkan tanpa untaian kata selamat tinggal.
Entah kenapa..rasanya malam ini ingin sekali kumendengarkan satu tembang yang dulu pernah menyimpan sebuah luka. Tak menunggu lama, kunyalakan Laptop yang tersudut pada meja kaca dekat ranjangku. Dalam hitungan detik..lagu itu pun akhirnya kutemukan. Perlahan..lagu itu bersenandung. Lirih syairnya ingatkan aku pada kelamnya kisah terindah. Goreskan luka..pada cerita paling abadi anak manusia.
Pernah kita sama-sama rasakan..panasnya mentari hanguskan hati..
Sampai saat kita nyaris tak percaya, bahwa roda nasip memang berputar..
Sahabat..masih ingatkah..
kau..
Sementara hari terus berganti..engaku pergi dengan dendam membara..
di hati…
Kata mereka..apa artinya hidup tanpa seorang teman. Kata sang surya..apa artinya dunia tanpa sinarnya. Dan ucap pasir berbisik..luka karna dendam, bagai duri dalam daging. Sakitnya takkan hilang sebelum dicabut keluar.
“Lupakan, dan maafkanlah..” ucap lembut nyiur yang melambai
“Ya..sudah lama aku memaafkannya. Bagaimana tidak..dia sahabatku sedari kecil.”
Kuterdiam pandangi ombak yang berkejaran. Papan surfing yang menemaniku, masih berdiri tegak menunggu isyarat dariku. Hembusan angin seakan tiupkan kerinduan padanya. Rasanya, mulut ini ingin kembali memanggilnya ‘sobat’. dan sepertinya..aku memang merindukannya.
“hmm..”
Aku tersenyum, pada kisah yang terlintas dikepala. Bukan hanya satu kisah..tapi ribuan kisah yang bila kuingat akan membuatku tersenyum bahagia. Cukup lama aku terdiam dalam lamunan. Lalu akhirnya sang ombak berteriak, coba mengingatkanku pada tujuan kedatanganku sore ini. Teriakan itu tak kuhiraukan..karna sepertinya sore ini aku ingin habiskan dengan menikamati birunya lautan sembari mengenang kisah yang lalu.
Nyanyian anak pantai bersama senandung dawai gitar, semakin menambah haru birunya lautan jiwaku yang paling dalam.
Do u remember when I first meet u…
Over ten years I go back…
U can rewind..we lot the time
u stil my mate..
do u remember.
Itu lagunya siapa..jelas aku kurang tau. Yang pasti liriknya sangat mengena di hati. Dan sepertinya..kini aku merasa orang paling kesepian di dunia. Merasa sunyi dalam keramaian yang ada. Terduduk sendiri dengan hanya ditemani papan surfing yang baru diberikan pihak sponsor tadi pagi. Sungguh menyedihkan sekali diriku ini. Lihat lah mereka yang tetawa bahagia disana. Bercanda dan berlari habiskan sore bersama sahabat teman sejiwa. Ingin kuraih kemabali kisah itu. Tapi masih adakah jalan tuk kembali?
“Huh..”
Pertanyaan sulit itu membuat dadaku terasa sesak. Kalimat itu terasa menumpahkan penyesalan yang membeludak. Sungguh aku tak tau dari mana hendak memulainya. Tapi satu yang pasti..masih ada kata maaf dihatinya. Aku yakin, waktu yang panjang telah kikis semua luka..basuh semua dendam yang ada.
“Gilang!?” ucap seorang Pemuda bertopi merah dengan nada terkejut.
“Ya..” ucapku dengan nada heran bercampur penasaran.
“Gil..ini gw, Rei.”
“Rei..Rei siapa?”
“Masa lo udah lupa ama gw seh..kurangajar bangat lo. Gw teman sekelas lo waktu SMA yang paling sering makan geratisan dirumah lo gila. ”
“Hah! Rei..hahaha.”
“Kurangajar lo Gil..haha..ga nyangka gw bakal ketemu lo disni gila..”
“Haha..gw juga, Rei..”
Ternyata sore yang indah ini tak kuhabiskan dengan duduk sendiri. Suasana ceria hadir diantara percakapan yang ada. Kisah yang lalu diumbar bagai gosip terhangat selebriti. Yah..ini lah yang namanya bernostalgia. Tak kusangka akan bertemu kembali dengannya. Dia teman sekalasku waktu SMA..teman satu komplek perumhan juga. Benar-benar sungguh tak kuduga.
“Ngapain lo kesisni Rei?”
“Pertanyaan lo ada-ada aja Gil..ya liburan lah. Kalau lo, ngapain disini Gil?
“Gw emang tinggal disini. Oh iya, sory bro pas gw pindah ke Bali ga pake bilang-bilang. Soalnya semuanya serba mendadak.”
“Its oke lah. Gw sempat dengar kabar dari anak-anak soal perceraian Ortu lo. Tapi ga ada satu pun yang tau lo pindah kemana. Eh ternyata, lo tinggal di Bali. Hehhe, coba kalau gw tau, bakal sering gw liburan kesisni.”
“Habis dari sini lo mau kemana Rei?”
“Paling balik ke hotel. Emang kenapa Gil?
“LO ga buru-buru kan? Gimana kalau sekarang kita ke rumah gw. Rumah gw dekat sini..pas di belakang toko yang itu.”
“Wah..ini benar-benar rezeki yang tak terduga Gil. Gw dah lama ga nyicipin masakan nyokap lo. Ditambah lagi, gw dah lama ga ketemu gadis pujaan gw yang cantik jelita..adik lo, hehhe.”
“Hmm..”
Hanya senyum tipis yang kuberikan atas ucapan Rei barusan. Wajar dia berkata demikian..karna dia tak tau menau dengan apa yang telah menimpa keluargaku. Namun yang jelas..aku sangat gembira dengan pertemuan yang tak terduga ini. Rasanya ingin berbincang lebih lama. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Terutama soal Doni..sahabat, yang juga jadi musuhku.
Setengah jam berselang, dalam penantian Ibunda yang belum juga datang. Kita sengaja menunggu Bunda tuk menyipkan masakan istimewa buat tamu special kali ini. Ibunda sudah hapal benar, masakan kesukaan bocah yang satu ini. Ya..Rei paling suka dengan ayam betutu buatan Ibunda. Namun, kini ia harus menunggu.
“Mama, kok lama bangat yah. Padahal tadi gw dah telpon loh. Gw coba telpon sekali lagi.”
“Udah lah, Gil. Paling entar lagi juga datang. Masih ada urusan kali.”
“Gimana kabar Doni, Rei?” ucapku bertanya
“Sebelum gw jawab pertanyaan lo, gw mau nanya sesuatu ama lo Gil. Selama ini gw belum yakin benar soal penyebab permusuhan diantara kalian berdua. Jadi..tolong lo jelasin. Gw pengen dengar langsung dari mulut lo.”
Terhentak kuterdiam. Sungguh aku kebingungan dari mana memulai penjelasan ini.
“Hmm...okeh. Pas ortu gw cerai, Bunga..pacarnya Doni gw jadiin tempat curhat. Dari sejak mereka belum pacaran, kita emang udah dekat. Jadi wajar kalau gw curhat ama dia. Lo pasti heran..kenapa gw ga curhat ama Doni. Hehehe..Doni itu kalau soal begituan banyakan becandanya. Makanya soal perceraian ortu gw, ga langsung gw kasi tau ke dia. Akhirnya gw Sms-an N telpon2nan ama si Bunga. Ga tau kenapa..tiba-tiba si Doni cemburu. Tiba-tiba si Doni langsung nelpon gw sambil marah-marah ga jelas. Namanya gw lagi banyak masalah..yah, ocehanya gw balas pake emosi juga. Akhirnya perang mulut pun tak dapat dihindari. Besokannya pas gw baru pulang beli tiket dari Bandara Polonia, tanpa sengaja gw papasan di jalan ama dia. Mungkin sakin marahnya dia atau gimana, tiba-tiba motor gw langsung diserempet ama Doni. Spontan motor gw langsung goyang..lalu nabrak trotoar. nih bekas lukanya masih ada. Dua hari setelah kejadian itu, gw langsung pindah ama nyokap ke Bali. Gw pindah bukan karna soal masalah gw ma si Doni. Tapi karna rumahnya dah dijual ma bokap gw. Huh..”
“Kalau yang gw dengar dari anak2 sih ga begitu Gil. Lo berantam ma Doni gara-gara lo macarin si Bunga. Dan buktinya pun kuat bangat..si Bunga yang langsung ngomong kalau dia emang suka ama lo.”
“Mm..mungkin gara-gara itu kali yah, ampe si Doni tega nyrempet motor gw.”
“Lo kok ga ngomong langsung ngejelasin semuanya ama Doni, Gil?”
“Itu dia gobloknya gw. Gw terlalu egois untuk minta maaf pada kesalahan yang ga gw perbuat. Gw ga merasa salah, justru si Doni yang terlalu cemburuan dan emosian”
“Terus sekarang gimana Gil..lo masih kesal ama dia?”
“Ga, Rei. Gw dah lama maafin dia. Gw juga dah lama pingin minta maaf ma dia. Hmm..gw dah coba ratusan kali nelpon ke rumahnya..tapi ga pernah nyambung-nyambung. Bokapnya belom bayar tagihan telpon kali yah..hehhe.”
“Sekitar sebulan setelah lo pindah, mereka juga pindah Gil. Jadi di komplek itu tinggal gw sendiri. Ga ada lo, juga Doni.”
“Pindah kemana?”
“Ke Bandung, Gil.”
“Kok bisa. Gimana ceritanya tuh, Rei?”
“Hmm..sebaiknya kita ganti topic pembicaraan aja dech.”
“Loh..emangnya kenapa?”
“kurang pas aja waktunya bahas soal itu. Kita bicarain besok-besok aja.”
“Yaelah..parah bagat si lo, Rei. Ga mau tau..pokoknya lo harus cerita.”
“Yakin lo..”
“kayak apaan aja nih…iya, yakin. Cerita aja kok susah banagt seh..Rei..Rei, masih kaku aja lo.”
“Doni meninggal dalam kecelakaan, Gil. Kejadiannya seminggu setelah lo pindah.”
“Hah! Yang benar lo!?”
“Malam itu tiba-tiba Doni datang ke rumah gw. dia minta ditemanin ke rumahnya si Bunga. Katanya ada hal penting yang mau dia omongin. Sepanjang jalan, dia bercerita soal lo terus, Gil. Dia dah nyari kabar soal lo kemana-mana, tapi hasilnya nihil. Si Doni nyesal bangat soal pertengkaran diantara kalian berdua. Mungkin karna terlalu banyak pikiran atau gimana, tiba-tiba dia ga ngeliat kalau ada truck yang nyalip mendadak. Buar..tabrakan pun tak dapat dihindari. Doni tak sempat di bawa kerumah sakit, dia mati ditempat.”
“Bo’ong bagat sih lo, Rei. Lo bilang, lo tabrakan berdua ama dia, tapi gw liat lo baik-baik aja nih. Ga ada goresan bekas luka sedikitpun.”
“Terserah lo mau percaya atau ga’. Dua hari sebelum dia meninggal, dia sempat titip pesan ama gw. dia minta tolong, photo-photo kalian waktu kecil ama mainan ini dikembaliin ke lo. Barang-barangnya ini tolong simpan baik-baik, Gil. Ini permintaan terakhirnya dia.”
“Loh..kok bisa tiba-tiba barang-barang ini ada dalam tas lo, Rei?”
“Itu ga penting, Gilang. Satu hal yang perlu lo tau..lo sahabat terbaiknya dia. Dan dia berharap..lo maafin kesalahan-kesalahannya dia selama ini.”
“Huh..”
Aku masih tak percaya dengan semua ini. Ini nyata atau mimpi?
“Gil..kayaknya gw ga bisa lama-lama nih..sekarang kayaknya gw mau balik ke hotel aja. Titip salam buat Bunda. Dan perlu lo tau, gw turut prihatin atas semua cobaan yang menimpa keluarga lo, juga soal adik lo. Heheh..kalo lo ke Jakarta, terus ketemu ama adik lo yang cakep itu..tolong sampein salam gw. Oke, bro..waktunya kita berpisah..next time kita ketemu lagi. Gil..lo teman terbaik yang pernah gw kenal. Thanks for everythink bro.”
Waktu yang tak pernah kembali..buatku tertimbun dalam sejuta penyesalan. Kini aku berada dalam belahan benua lain..namun bayang mereka masih selalau mengikuti. Pada sahabatku yang telah berlalu..ada kata maaf yang tak sempat terucap yang kan kubawa hingga aku mati. Bila pun nanti akan bersua..aku tak tau akan berkata apa. Penyesalan..hanya itu yang tersisa.
Sang waktu..mengiringiku dalam penderitaan terpanjang.
Sang waktu…yang tak pernah kembali.
Sahabatku..maafkan aku.

By : Didi Roten

Komentar

Postingan Populer